Memerangi kabut asap

Kondisi udara di Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat. Gambar diambil Kamis, 19/9/2019.

Setiap hari, bahkan terkadang setiap pagi di beberapa hari terakhir, saya selalu membuka AirVisual. Aplikasi ini menjadi andalan saya untuk mengukur kualitas udara baik di luar ruangan, maupun di dalam ruangan.

Saya tinggal di Kabupaten Tanah Datar. Daerah ini menjadi salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang terdampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Pekanbaru, Riau serta Jambi. Asapnya memang tidak sepekat di dua kota/provinsi tersebut. Namun, cukup membuat saya acapkali sesak napas.
Hasil tangkap layar AirVisual

Angka memang tidak bohong. Pada 19 September 2019, berdasarkan AirVisual, kualitas udara di kota saya, Rambatan mencapai 224 US AQI. Sebuah penanda bahwa udara yang kami hirup di sini, sangat tidak sehat.

Sedih rasanya, mengingat saya punya bayi yang usianya belum satu tahun. Apalagi melihat sejumlah pemberitaan bahwa setidaknya sudah ada 2 bayi yang meninggal akibat kabut asap. Satu di Palembang berusia 4 bulan dan satu lagi di Pekanbaru yang usianya baru 3 hari.

Memang kedua bayi malang ini berada sangat dekat di titik karhutla. Namun, tetap saja bayi atau anak-anak menjadi sasaran empuk untuk mengidap Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA. Saya yakin, penyakit ini merupakan mimpi buruk bagi para ibu-ibu terhadap anak mereka yang tinggal di daerah terdampak kabut asap karhutla.

Penyebab karhutla

Asap membumbung tinggi tidak hanya mengancam kesehatan manusia tapi juga keberlangsungan hidup para binatang. Orangutan misalnya. Mereka terpaksa harus terusik bahkan sakit-sakitan ketika tempat tinggalnya, rumahnya, hangus dilalap api.

Andai saja mereka tahu, kalau api itu tidak datang begitu saja. Si jago merah ini sebagian besar merupakan hasil perbuatan manusia yang serakah.

Bagaimana tidak? Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo yang dikutip dari situs resmi lembaga tersebut, para oknum yang ingin membuka lahan perkebunan, terutama perkebunan sawit, memilih untuk membakar hutan karena biayanya diyakini jauh lebih murah dibandingkan harus menebang pohonnya satu per satu.

Hingga saat ini, kepolisian setidaknya telah mencatat ada 196 kasus pembakaran dengan sengaja yang dilakukan oleh 218 tersangka perorangan dan 5 korporasi tersangka.

Karhutla semakin parah karena bertepatan dengan musim kemarau panjang. Saya sampai lupa, kapan terakhir kali hujan lebat mengguyur tempat kami.

Dalam sebulan terakhir saja, masyarakat desa sudah melakukan 8 kali sembahyang Istiqa atau sembahyang minta hujan. Presiden Joko Widodo juga beberapa waktu lalu sempat mengunjungi Riau dan sembahyang Istiqa berjamaah. Namun sayangnya, hujan yang diminta belum juga tiba.
Kondisi udara di Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat. Gambar diambil Kamis, 19/9/2019.

Penanggulangan karhutla

Segala daya dan upaya telah dikerahkan untuk mengatasi karhutla dan mencegah kabut asap semakin menyebar ke mana-mana. Berdasarkan data BNPB, pada 20 September 2019 pukul 16.00, para personel sebanyak 29.039 orang bahu-membahu memadamkan karhutla.

Pengorbanan ini bukan hal yang mudah karena mereka harus menerobos asap bahkan api. Saya cukup salut saat Kepala BNPB terjun langsung dalam upaya pemadaman api di Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Masih menurut data BNPB, sebanyak 44 heli telah diterbangkan ke wilayah yang totalnya lebih dari 3.400 titik api dengan luas mencapai 328.724 hektare yakni di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Kondisi udara di Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat. Gambar diambil Kamis, 19/9/2019.

Harapan

Mungkin di mata para pengusaha, keuntungan harus dicari setinggi-tingginya sedangkan beban harus ditekan serendah-rendahnya.

Dalam hal ini, pengusaha adalah oknum yang dengan sengaja dan tentu secara keji membakar hutan untuk membuka lahan. Saya pikir, kata "keji" cukup menggambarkan betapa mereka menari-nari di atas penderitaan kami yang hampir setiap tahun harus menghirup asap. Ya, setiap tahun selama 2 dekade.

Perilaku ini tentu saja harus diubah karena kita semua tidak tinggal sendiri di bumi ini. Ada lansia, ada anak-anak, ada orang-orang yang sensitif terhadap asap, serta ada binatang-binatang yang tidak mengerti kenapa habitatnya hangus dan paru-parunya sakit. Kalau kita jaga alam, alam jaga kita. 

Harapan saya, dan tentu semua orang khususnya yang terdampak asap, para tersangka pembakar hutan diganjar hukuman yang setimpal. Hal tersebut untuk memberikan efek jera sehingga karhutla berhenti sampai tahun ini dan tidak perlu terulang kembali pada tahun-tahun mendatang.

Saya juga berharap para oknum ini memahami  pentingnya menjaga hutan di Indonesia yang (dulu) disebut sebagai paru-paru dunia. Terbakarnya hutan di bumi pertiwi tidak hanya menyakiti bangsa dalam negeri, tetapi juga sampai mengganggu ketenteraman negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Bukan tidak mungkin, jika karhutla semakin parah, semakin banyak juga negara lain yang terdampak. Tentu hal ini bukan keinginan kita bersama.

Terlebih lagi, untuk para korban terdampak asap karhutla, saya berharap budaya sadar bencana, dalam hal ini bencana karhutla, bisa terus digalakkan. Pengalaman saya tinggal daerah terdampak, yang asapnya tidak terlalu pekat, masyarakat cenderung abai dan kurang peduli. Contoh kecilnya memakai masker. Hanya karena tidak nyaman dan tidak terbiasa, masker yang dibagikan secata gratis pun tercampakkan begitu saja. Padahal ada bahaya yang mengintai para penghirup udara tidak sehat. Kenali bahayanya, kurangi risikonya. 

Jika kesadaran masyarakat tinggi dan dibarengi pengetahuan soal pentingnya memakai masker, menutup pintu rapat-rapat, mengurangi aktivitas di luar, maka masyarakat pun akan siap untuk selamat dari bahaya asap. 

Comments

Popular Posts