When Mom passed away
Setelah punya anak, saya sadar betapa beratnya perjuangan seorang ibu. Sadar dalam arti “oh kayak gini rasanya hamil, melahirkan, mengurus anak”.
And it isn’t easy at all. Sebenarnya, bukan menjadi ibu itu sendiri yg membuat saya berat, tapi ingatan saya pada Mama. Mama enggak ada selama saya hamil dan melahirkan. Mama juga enggak ada ketika saya pusing mengurus Rahma.
Terlalu banyak pertanyaan yg ingin saya lontarkan, terutama yg sifatnya hormon genetis. “Kok ngga pernah ngidam selama hamil? Kok perut banyak stretchmark nya pas mau lahiran? Kok sering keputihan?”
Kadang sedih, harus menjalani ini semua tanpa Mama. Meski ada suami dan mertua yg baiiiik banget, tetap enggak bisa ganti posisi Mama.
9 tahun yg lalu
Saya masih ingat jelas rentetan kejadian sebelum Mama meninggal karena leukimia. Tiga hari sebelumnya, saya masih di Purwokerto.
Kala itu, saya mendapat panggilan wawancara untuk perekrutan pramugari Singapore Air. Untuk memenuhi panggilan tersebut, maka saya pulang ke Bogor.
Mungkin karena terlalu bersemangat ditambah beban pikiran tentang Mama yg masih dirawat di rumah sakit, saya keliru membaca e-mail.
Dengan sangat yakin, saya mengira wawancara digelar di Jakarta. Ternyata, saat saya tiba di Bogor dan membaca kembali surat elektronik tersebut, wawancara justru dihelat di Surabaya.
Saya sampai baca berulang-ulang untuk memastikannya. Karena sudah terlanjur pulang ke Bogor dan tidak sempat lagi ke Surabaya, saya putuskan untuk stay beberapa hari sebelum kembali ke Purwokerto. Tentu saja, sekaligus menemui Mama di rumah sakit.
Esok paginya, saya bersama paman berangkat ke rumah sakit. Kakak dan adik saya sudah lebih dulu di sana. Entah perjalanan pagi itu terasa sendu. Mungkin karena keadaan Mama tak kunjung membaik bahkan setelah pindah rumah sakit.
Saat itu, Mama yg setelah sebulan di UGD RSCM karena tidak mendapat kamar, dipindahkan ke RS Kramat 128 dan langsung masuk ICU. Sesampainya di sana, suasana yg kelabu makin terasa.
Meski masih merespon, tubuh Mama sangat lemah. Tak lama dari itu, Mama pun koma.
Kemudian kakak saya memberitahu bahwasanya suster telah menyodorkan surat pernyataan untuk ditandangani. Ia meminta izin kepada kami, saya, adik saya, dan paman saya untuk memberikan kewenangan perawat mencabut alat bantu Mama.
Saya pun iba melihat Mama “dipaksa” untuk bertahan hidup dengan bantuan peralatan medis yang dipasang di sana sini. Baiklah, dengan berbesar hati, kami semua menyanggupi pelepasan alat medis tersebut.
Menginjak sore hari, tekanan darah Mama terus menurun dan telapak kakinya sudah mulai dingin. Logika saya berkata, mungkin ini sudah waktunya. Namun hati kecil saya selalu menyangkal bahwa akan ada keajaiban.
Semua orang menangis. Dokter meminta seluruh keluarga untuk berkumpul di samping Mama. Seolah berkata, “temani ia untuk terakhir kalinya”. Pikiran saya waktu itu campur aduk. “Bagaimana ini? Papa sudah tidak ada, masak saya harus kehilangan Mama juga?”
Saya pun sempat bernazar untuk mulai menggunakan hijab jika Mama sembuh seperti sedia kala. Nazar yg kemudian saya sesali karena hijab apapun kondisinya adalah kewajiban.
Akhirnya Mama pun pergi setelah paman mewakilkan Mama untuk meminta maaf kepada kakek dan nenek saya. Hati saya hancur dan masih tidak percaya. Berharap semua itu mimpi buruk. Mimpi buruk yg terlalu nyata. Sampai psikosomatis saya pun kambuh karena terlalu banyak menyangkal keadaan.
Jadi ternyata, panggilan wawancara itu salah satu cara Allah supaya saya pulang. Sebelum saya pulang pun, jam tangan pemberian Mama jatuh dan kacanya pecah. Tak lama setelah itu, saya tak sengaja memecahkan gelas. Kemudian saya menangis, menyadari bahwa itu semua mungkin pertanda.
Mungkin memang ini yg terbaik. Saya pun menghibur diri saya, kalau Mama pasti senang karena kembali bertemu Papa.
Been missing you always, Mama and also Papa.
And it isn’t easy at all. Sebenarnya, bukan menjadi ibu itu sendiri yg membuat saya berat, tapi ingatan saya pada Mama. Mama enggak ada selama saya hamil dan melahirkan. Mama juga enggak ada ketika saya pusing mengurus Rahma.
Terlalu banyak pertanyaan yg ingin saya lontarkan, terutama yg sifatnya hormon genetis. “Kok ngga pernah ngidam selama hamil? Kok perut banyak stretchmark nya pas mau lahiran? Kok sering keputihan?”
Kadang sedih, harus menjalani ini semua tanpa Mama. Meski ada suami dan mertua yg baiiiik banget, tetap enggak bisa ganti posisi Mama.
9 tahun yg lalu
Saya masih ingat jelas rentetan kejadian sebelum Mama meninggal karena leukimia. Tiga hari sebelumnya, saya masih di Purwokerto.
Kala itu, saya mendapat panggilan wawancara untuk perekrutan pramugari Singapore Air. Untuk memenuhi panggilan tersebut, maka saya pulang ke Bogor.
Mungkin karena terlalu bersemangat ditambah beban pikiran tentang Mama yg masih dirawat di rumah sakit, saya keliru membaca e-mail.
Dengan sangat yakin, saya mengira wawancara digelar di Jakarta. Ternyata, saat saya tiba di Bogor dan membaca kembali surat elektronik tersebut, wawancara justru dihelat di Surabaya.
Saya sampai baca berulang-ulang untuk memastikannya. Karena sudah terlanjur pulang ke Bogor dan tidak sempat lagi ke Surabaya, saya putuskan untuk stay beberapa hari sebelum kembali ke Purwokerto. Tentu saja, sekaligus menemui Mama di rumah sakit.
Esok paginya, saya bersama paman berangkat ke rumah sakit. Kakak dan adik saya sudah lebih dulu di sana. Entah perjalanan pagi itu terasa sendu. Mungkin karena keadaan Mama tak kunjung membaik bahkan setelah pindah rumah sakit.
Saat itu, Mama yg setelah sebulan di UGD RSCM karena tidak mendapat kamar, dipindahkan ke RS Kramat 128 dan langsung masuk ICU. Sesampainya di sana, suasana yg kelabu makin terasa.
Meski masih merespon, tubuh Mama sangat lemah. Tak lama dari itu, Mama pun koma.
Kemudian kakak saya memberitahu bahwasanya suster telah menyodorkan surat pernyataan untuk ditandangani. Ia meminta izin kepada kami, saya, adik saya, dan paman saya untuk memberikan kewenangan perawat mencabut alat bantu Mama.
Saya pun iba melihat Mama “dipaksa” untuk bertahan hidup dengan bantuan peralatan medis yang dipasang di sana sini. Baiklah, dengan berbesar hati, kami semua menyanggupi pelepasan alat medis tersebut.
Menginjak sore hari, tekanan darah Mama terus menurun dan telapak kakinya sudah mulai dingin. Logika saya berkata, mungkin ini sudah waktunya. Namun hati kecil saya selalu menyangkal bahwa akan ada keajaiban.
Semua orang menangis. Dokter meminta seluruh keluarga untuk berkumpul di samping Mama. Seolah berkata, “temani ia untuk terakhir kalinya”. Pikiran saya waktu itu campur aduk. “Bagaimana ini? Papa sudah tidak ada, masak saya harus kehilangan Mama juga?”
Saya pun sempat bernazar untuk mulai menggunakan hijab jika Mama sembuh seperti sedia kala. Nazar yg kemudian saya sesali karena hijab apapun kondisinya adalah kewajiban.
Akhirnya Mama pun pergi setelah paman mewakilkan Mama untuk meminta maaf kepada kakek dan nenek saya. Hati saya hancur dan masih tidak percaya. Berharap semua itu mimpi buruk. Mimpi buruk yg terlalu nyata. Sampai psikosomatis saya pun kambuh karena terlalu banyak menyangkal keadaan.
Jadi ternyata, panggilan wawancara itu salah satu cara Allah supaya saya pulang. Sebelum saya pulang pun, jam tangan pemberian Mama jatuh dan kacanya pecah. Tak lama setelah itu, saya tak sengaja memecahkan gelas. Kemudian saya menangis, menyadari bahwa itu semua mungkin pertanda.
Mungkin memang ini yg terbaik. Saya pun menghibur diri saya, kalau Mama pasti senang karena kembali bertemu Papa.
Been missing you always, Mama and also Papa.
Comments
Post a Comment