Quarter Life Crisis: Ibu Bekerja vs Ibu Rumah Tangga
Beberapa waktu lalu, lagi buka timeline Twitter dan ketemu artikel Kumparan yg judulnya "Teruntuk Kamu yang Sedang Dirundung Quarter Life Crisis".
Wah apa tuh quarter life crisis? Jadi katanya, ini adalah fase ketika seseorang mencari jati dirinya dengan mempertanyakan apa tujuan hidupnya.
Bisa juga masuk fase ini ketika seseorang mempertanyakan seberapa penting perannya di masyarakat. Umumnya dialami orang-orang dengan kisaran umur 24-30 tahun.
Sementara menurut Alex Fowke yg dikutip dari Wikipedia, quarter life crisis adalah periode ketika seseorang merasa tidak aman, ragu-ragu, dan kecewa terhadap karir, hubungan dengan manusia lainnya, serta situasi keuangan.
Saya merasa tertampar karena sepertinya saya sedang berada di fase itu. Duh!
Karir
Bagi orang-orang yg merasa karir yg dijalani adalah hobi, seringkali muncul rasa nyaman. Setelah sekian lama, dan biasanya tidak disadari, kita pun terjebak dalam zona nyaman atau comfort zone.
Alasannya bisa macam-macam misalnya malas atau mungkin takut mencoba hal baru karena tidak yakin akan kestabilannya. Inilah yg saya alami ketika bekerja sebagai jurnalis.
Selama 4 tahun, saya banyak bertemu orang mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas, mulai dari rakyat biasa sampai wakil rakyat dan para pejabat lainnya, mulai dari karyawan sampai direktur utama.
Belum lagi saya selalu berpindah tempat setiap harinya. Kadang di Jakarta, kadang di Surabaya. Kadang di rumah, kadang di hotel berbintang atau pusat perbelanjaan.
Tentu saja, bosan adalah hal terakhir yg saya alami. Meski memang tingkat stresnya pun cukup tinggi dengan berbagai deadline yg harus saya penuhi setiap hari dan juga berbagai tema tulisan.
Akhirnya tiba di satu titik saya menyadari bahwa saya sudah terlalu lama di zona nyaman ini. Makanya, saya memutuskan untuk menikah dan resign.
Hubungan
Menikah adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya. Terlebih lagi saya harus ikut suami pindah ke kota yg I never knew it exists before.
Tapi, keputusan saya sudah bulat dan saya insya Allah sudah yakin dengan laki-laki pilihan saya waktu itu. Sesampainya saya di tanah kelahiran suami, tugas saya bejibun, antara lain menghafal nama-nama keluarga, saudara, dan kerabat.
Fyi, dalam satu desa di sini, hampir semua penduduknya tersangkut paut alias masih ada hubungan saudara. Belum selesai jetlag menghafal nama, saya juga harus belajar bahasa lokal yg benar-benar baru bagi saya. Beruntung, berkat bantuan suami, dalam 2 bulan saya bisa beradaptasi.
Keuangan
Baru menikah, punya anak, dan tidak bekerja, merupakan tantangan tersendiri untuk saya. Meski sebenarnya, kebutuhan utama kami selalu tercukupi.
Tapi, sebagai generasi milenial yg hidup di era yg arus informasinya sangat kencang, kami harus tetap mengencangkan ikat pinggang agar tidak konsumtif.
Salah satu caranya adalah dengan menetap di rumah mertua. Hal ini tentu berpengaruh juga terhadap kehidupan bersosial saya. Pasalnya, rumah mertua saya memang cukup ramai. Ada nenek, om, kakak (beserta suaminya), serta ayah dan ibu suami saya.
Ibu bekerja vs ibu rumah tangga
Saya rasa ini merupakan kegalauan yg dialami hampir semua ibu-ibu, deh. Di satu sisi, ingin jadi ibu rumah tangga biar fokus ngurus anak. Toh, bayi akan menjadi anak-anak dan anak-anak akan menjadi dewasa.
Tapi, di sisi lain, kebutuhan anak kian tinggi belum lagi biaya pendidikan yg terus meningkat. Selain itu, bekerja juga jadi cara ibu untuk terus berkarya di bidangnya dan berkontribusi pada masyarakat.
Semuanya ada positif dan negatifnya sih. Meski memang terkadang dua hal ini buat saya memasuki quarter life crisis. Bayangkan saja selama lebih dari 3 bulan saya hanya di rumah. Sesekali keluar rumah hanya saat Rahma imunisasi.
Namun, (sampai saat ini) saya tetap memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.
Saya menikmati saat-saat Rahma tertidur, tersenyum, tertawa, mengantuk, bermain, tertegun, bahkan ketika Rahma menangis. Because money cant buy time and she will grow up.
Nah, sambil menjaga kewarasan meski enggak bekerja, saya luangkan waktu untuk menulis di sini. Somehow, it heals me, terlepas ada yg baca atau ngga. Hahaha.
Oh ya, selain menulis, yg terutama supaya tetap waras adalah mendekatkan diri ke Allah.
Well, buat buibu atau pabapak atau mba-mba atau mas-mas atau adik-adik semua yg ada di sini (jangan nyanyi sambil ngebor plis!), yg mungkin lagi merasa di fase quarter life crisis, semangat!
Hold on your faith dan jangan berlarut-larut dalam memutuskan sesuatu. Percaya deh, apapun keputusan kalian, fase ini sulit dihindari. Jadi, kuncinya bersyukur dan nikmati hal-hal yg ada saat ini.
Punya kerjaan, disyukuri dan jangan banyak mengeluh. Belum kerja juga harus bersyukur, karena kita bisa mengembangkan hobi atau minat kita. Kali aja, dari hobi tersebut bisa dapat bonus penghasilan.
Baiklah, saya undur diri ya! 😊
Comments
Post a Comment